intip hutan | Februari 2004 5
Sejarah Penjarahan Hutan
NASIONAL
Penjarahan Hutan di Masa
Rejim ORBA
Pemerintahan Rejim Orde Baru
sejak awal berkuasa telah menunjukkan
wataknya yang merupakan perpaduan
antara kapitalisme, militerisme dan
budaya politik kerajaan dataran rendah
pedalaman Jawa yang kemudian
dibungkus dalam politik pembangunan
untuk pertumbuhan ekonomi. Untuk
melihat bagaimana “politik penjarahan
hutan” di masa ini bekerja maka saya
akan memfokuskan pada pengalaman
masyarakat adat sebagai kelompok
utama penduduk negeri ini. Kelompok
yang secara tekstual dilindungi hakhaknya
oleh UUD 1945 dan saat ini
populasinya diperkirakan hanya
berkisar antara 50 – 70 juta orang,
paling menderita secara materil dan
spritual atas penerapan politik
pembangunan Rejim Orde Baru
sebagaimana dialami masyarakat adat
di Jawa pada masa kolonial.
Kalau perambahan hutan sebagai
kekayaan rakyat di Jawa oleh organisasi
pedagang swasta VOC dilakukan hanya
atas dasar kekuasaan politik dan
penaklukan, sedangkan di masa Rejim
Orde Baru yang dipimpin oleh militer,
perambahan hutan yang juga dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan swasta
telah dilandasi dengan produk hukum
yang diterbitkan secara tidak
demokratis, yaitu UU Pokok
Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Dengan
UU ini dimulailah era sistem konsesi
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di
Indonesia kepada perusahaanperusahaan
swasta, baik perusahaan
asing yang disinyalir dekat dengan
pusat kekuasaan di negara asalnya
maupun perusahaan swasta nasional
yang sebagian diantaranya memiliki
keterkaitan dengan institusi militer atau
polisi, petinggi atau mantan petinggi
militer (termasuk yang pernah
Penjarahan hutan pinus di Wonosobo, di kawasan hutan negara
memimpin pemberontakan di daerah)
dan keluarga serta kerabat Presiden
Soeharto yang berkuasa pada masa itu.
Para elit penguasa ini kemudian
membangun kerjasama dengan para
pedagang untuk mengeksploitasi hutan
dengan keterlibatan yang sangat
terbatas dari para rimbawan (forester).
Di sebagian besar perusahaan HPH
keterlibatan para rimbawan ini bahkan
tidak lebih dari sekedar pemenuhan
syarat administratif untuk mendapatkan
ijin atau pengesahan Rencana Karya
Tahunan (RKT).
Pemerintah juga merasa perlu
mengeksploitasi kawasan-kawasan
hutan secara langsung dengan
membentuk perusahaan negara
kehutanan (BUMN) untuk
mendapatkan areal-areal konsesi HPH
di luar Jawa. Sudah menjadi cerita yang
umum bahwa BUMN ini digunakan
oleh para elit penguasa untuk
kepentingan politik pribadi atau
kelompoknya, salah satunya dengan
menempatkan orang-orang “yang
dipercaya” di posisi paling berpengaruh
di BUMN. Pada tahun 1995 paling
sedikit ada 586 konsesi HPH dengan
luas keseluruhan 63 juta ha, atau lebih
separuh dari luas hutan tetap, baik yang
dieksploitasi persahaan swasta maupun
BUMN.
Sejak semula, penerapan sistem
konsesi HPH telah menjadi bagian dari
skenario politik kekuasaan untuk
menjamin dominasi militer dalam
pemerintahan, tentunya disamping
tujuan resmi untuk meningkatkan
penerimaan pendapatan bagi
pemerintah untuk melaksanakan
pembangunan ekonomi. Penerapan
sistem konsesi HPH sejak awal sudah
cacat politik dan hukum. Sebagian
besar dari areal konsesi HPH yang
diberikan kepada perusahaan
penebangan hutan berada di kawasankawasan
hutan yang belum
dikukuhkan, yang artinya bahwa
kawasan-kawasan yang belum
dikukuhkan ini tidak memiliki buktibukti
hukum menyatakan bahwa
kawasan hutan tersebut adalah hutan
negara yang bebas dari atau sama sekali
tidak dibebani hak milik pihak lain.
Dengan demikian, penerapan sistem
konsesi HPH di masa Rejim Orde Baru
adalah bentuk penjarahan hutan
nasional yang paling umum dan
dilakukan secara vulgar oleh kelompok
kepentingan politik yang dominan pada
waktu itu, yaitu militer yang didukung
para politisi sipil di parlemen
(khususnya GOLKAR sebagai partai
politik bentukan militer) dan sebagian
para ahli serta praktisi kehutanan.
Bagian 2
Foto: ARuPA
6 intip hutan | februari 2004
Bersamaan dengan meningkatnya
jumlah konsesi HPH dan pesatnya
pertumbuhan volume ekspor kayu,
kelompok politik dominan ini juga terus
mengkonsolidasikan kekuasaannya
dalam bisnis kayu ini. Soeharto, lewat
salah satu kroninya yang paling
dipercaya, Bob Hasan, mengintervensi
berbagai organisasi yang paling penting
yang sudah ada sebelum masa Rejim
Orde Baru atau membentuk organisasi
baru yang terkait dengan kehutanan.
Hasil dari konsolidasi kekuasaan ini
adalah terbentuknya APKINDO tahun
1976, MPI dan APHI tahun 1983 serta
ASMINDO tahun 1988. Lewat orangorang
kepercayaannya, Bob Hasan
mampu mengendalikan beberapa
organisasi profesi yang berpengaruh di
dunia kehutanan. Sampai jatuhnya
Soeharto dari kursi Presiden, Bob
Hasan yang dikenal rajin merekrut
mantan aktifis kampus menjadi
karyawannya ini, telah menjadi
individu yang paling berkuasa di sektor
kehutanan selama puluhan tahun.
Kekuasaan yang demikian besar di
tangan segelintir pedagang “kroni
penguasa” telah menempatkan sektor
kehutanan menjadi sasaran penjarahan
dana untuk berbagai tujuan, termasuk
salah satunya penggunaan dana
reboisasi untuk memodali pembuatan
pesawat oleh IPTN. Praktek-praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme di masa
ini telah menjadi suatu hal yang biasa
di masa ini, hampir sama dengan
kejadian VOC di masa pemerintah
kolonial. Dengan posisi politik yang
sangat kuat dari para pemilik HPH yang
umumnya pedagang itu maka praktekpraktek
penebangan hutan di lapangan
juga banyak melanggar aturan-aturan
teknis, sedikit diantaranya adalah
penebangan di luar blok tebangan dan
bahkan di luar areal konsesi HPH yang
diijinkan, “cuci mangkok”, “tebang
matahari”, dibawah diameter pohon
yang diijinkan dan sebagainya. Pada
saat yang bersamaan, pemerintah juga
tidak mampu melakukan pengawasan
yang efektif karena kebanyakan di
antara pejabat di Departemen
Kehutanan justru menggunakan buktibukti
pelanggaran untuk tujuan korupsi
dengan memeras perusahaan HPH.
Praktek-praktek penebangan “illegal”
oleh perusahaan-perusahaan “legal”
sudah sangat lazim dan praktek ini
bukan hanya mengancam keberlanjutan
fungsi ekologis dan sosial hutan
produksi, tetapi juga telah mengancam
kelestarian produksi kayu yang justru
menjadi sumber keuntungan bagi
perusahaan.
Selain penjarahan secara langsung
sumberdaya ekonomi primer
masyarakat adat/lokal berupa tanah dan
sumber daya alam di dalamnya,
pemerintah melalui berbagai kebijakan
perdagangan hasil bumi secara
sistematis mengendalikan kegiatan
ekonomi masyarakat adat. Pemberian
monopoli kepada asosiasi atau
perusahaan kroni dalam perdagangan
komoditas yang diproduksi masyarakat
adat, seperti rotan dan sarang burung
walet, telah menempatkan pemerintah
sebagai “pelayan” bagi para pemilik
modal untuk merampas pendapatan
yang sudah semestinya diperoleh
rakyat.
Kritik, protes dan keluhan dari
rakyat di kampung-kampung, ORNOP,
para intelektual kampus atas praktikpraktik
penguasahaan hutan ini tidak
mampu mendorong perubahan berarti
di sektor ini selama masa Rejim Orde
Baru. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh ORNOP nasional untuk
mengkampanyekan kebobrokan
pengelolaan hutan di Indonesia sejak
akhir tahun 1970-an, termasuk
menggalang dukungan di luar negeri
sehingga ORNOP dalam negeri dicap
sebagai antek pemerintah asing yang
tidak nasionalis, tidak berdampak pada
perubahan kebijakan yang berarti.
Pengorganisasian rakyat di daerahdaerah
juga sulit dilakukan karena
pendekatan keamanan yang represif
sudah terintegrasi dalam kelembagaan
pemerintahan di desa lewat BABINSA
dan kekuasaan nyata di sebagian besar
pelosok nusantara sudah berpindah dari
lembaga adat ke kepala desa.
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan
hanya bisa menyaksikan penjarahan
berlangsung. Pada saat-saat yang
memungkinkan sebagian masyarakat
juga melibatkan diri dalam penjarahan
ini untuk bisa bertahan hidup atau pun
menikmati sedikit kemewahan dari hasil
hutannya. Para akademisi kampus dan
para ilmuwan juga terpecah-pecah oleh
perilaku politik “almamaterisme” dan
tidak memiliki kekuatan moral yang
cukup untuk mempengaruhi kebijakan
kehutanan karena keterlibatan mereka
terlalu jauh sebagai “konsultan” dalam
berbagai proyek-proyek pesanan dari
pemerintah, organisasi pengusaha
kehutanan dan perusahaan kehutanan.
Penjarahan Hutan di Masa
Reformasi dan Otonomi Daerah
Di tengah pemberlanjutan
‘ideologi’ pembangunan eksploitatif
dari rejim Orde Baru Soeharto-Habibie
ke KH. Abdurrahman Wahid dan saat
ini Megawati Sukarnoputri,
reorganisasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia melalui otonomi daerah telah
menjadi tema sentral perdebatan hampir
di seluruh lapisan masyarakat. Dalam
otonomi daerah ini, yang secara formal
ditandai dengan keluarnya UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun
1999, ada kehendak dari para
pembuatnya untuk memperbaharui
hubungan antara pemerintah pusat
dengan daerah melalui penyerahan
kewenangan pusat ke daerah atau
desentralisasi, antara eksekutif
(PEMDA) dengan legislatif (DPRD)
melalui “kemitraan sejajar” diantara
keduanya, dan terakhir mendekatkan
secara politik dan geografis antara
penentu kebijakan (yang
kewenangannya diserahkan ke DPRD
dan PEMDA Kabupaten) dengan
rakyat sehingga diharapkan kebijakan
yang dihasilkan akan lebih sesuai
dengan hajat hidup rakyat banyak.
Dalam konteks memberi jalan bagi
tumbuhnya demokrasi di Indonesia,
hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu
dikaji dan dipertanyakan secara kritis
mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU
25/1999 ini hanya mengatur sistem
pemerintahan (government system),
bukan sistem pengurusan (governance
system). Ini berarti bahwa kedua UU
ini baru mengatur hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah, belum
menyentuh pada persoalan mendasar
tentang hubungan rakyat dengan
pemerintah yang selama Orde Baru
justru merupakan akar dari segala
persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat adat/lokal, yaitu tidak
adanya kejelasan dan ketegasan adanya
kebebasan bagi rakyat untuk memasuki
arena penentuan kebijakan yang
sifatnya kepentingan bersama (publik).
Yang muncul sebagai akibat dari
ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini
adalah tumbuh-suburnya perilaku
politik pengurasan hutan di kalangan
intip hutan | Februari 2004 7
elit politik, khususnya para bupati yang
mendapatkan penambahan wewenang
yang cukup besar. Para bupati
berlomba-lomba mengeluarkan
PERDA untuk menarik pendapatan asli
daerah (PAD) sebanyak-banyaknya,
termasuk dengan pemberian ijin HPHH
skala kecil, IPK dan sebagainya tanpa
perhitungan ketersediaan sumberdaya
hutan yang matang. Kalau
kecenderungan ini tidak segera
dihentikan (atau paling tidak
dikendalikan) maka otonomi daerah
tidak pernah jadi solusi, bahkan akan
meningkatkan laju pengrusakan hutan
karena bentuk-bentuk kegiatan
penjarahan hutan secara legal semakin
beragam di banding sebelumnya.
Hal menarik dan penting dicatat
dari perjalanan otonomi daerah selama
setahun terakhir ini adalah bahwa
bertambahnya kekuasaan/wewenang di
tangan para Bupati dan DPRD bukan
berarti dengan sendirinya mengurangi
kekuasaan/wewenang pemerintah
pusat di daerah atas sumber daya alam.
Sementara para bupati sudah memiliki
kewenangan yang besar sesuai dengan
UU No. 22/1999 untuk mengeluarkan
ijin IHPH dan IPK, di sisi lain DEPHUT
–sebagai instansi teknis pemerintah
pusat– masih tetap menggunakan UU
No. 41 Tahun 1999 dan peraturan
turunannya, khususnya PP No. 34
Tahun 2002 –peraturan terbaru yang
kontroversial– untuk mempertahankan
kepengurusannya yang mutlak
(“kekuasaannya”) atas kawasan hutan,
termasuk untuk memberi dan mencabut
ijin HPH dan HPHTI, serta pelepasan
kawasan hutan untuk penggunaan lain.
Pada kondisi ini kepentingan para
pemilik HPH yang berjaya selama
Rejim Orde Baru menjadi sangat
terganggu dengan posisi hukum antara
wewenang pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Di satu sisi
kekuasaan atas ijin HPH yang mereka
pegang masih tetap berada di tangan
Menteri Kehutanan, sementara di sisi
yang lain Pemerintah Daerah memiliki
wewenang yang besar untuk
memberikan ijin-ijin penebangan hutan
skala kecil di daerah masing-masing.
Posisi politik kedua pemerintahan
tersebut saat ini menjadi persoalan
paling penting bagi para pemilik HPH
untuk bisa mempertahankan usahanya.
Dengan posisinya yang secara langsung
berinteraksi dengan masyarakat
internasional dan juga para aktivis
gerakan masyarakat sipil yang menguat
di Jakarta, maka tekanan politik
terhadap Menteri Kehutanan akan lebih
besar dari kedua komponen tersebut
yang secara terus-menerus mendesak
untuk menghentikan penjarahan hutan
dan memfokuskan kebijakannnya untuk
melakukan rehabilitasi terhadap
kawasan-kawasan hutan tetap yang
sudah rusak berat dan bahkan sebagian
sudah menjadi lahan-lahan kritis.
Sebaliknya, Bupati justru mendapatkan
tekanan yang sangat kuat dari
DPRD yang memilihnya untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) –yang penggunaannya salah
satunya adalah untuk membiaya gaji
dan biaya operasional DPRD– yang
bersumber dari eksploitasi hutan
dengan cara sebanyak-banyaknya
pemberian ijin penebangan hutan skala
kecil sebagaimana terjadi di banyak
kabupaten saat ini. Dengan orientasi
politik demikian maka kepentingan
pengusaha kehutanan, baik perusahaan
penebangan hutan maupun industri
pengolahan kayu, akan lebih dekat
dengan kepentingan Bupati untuk tetap
meproduksi kayu sebanyak-banyaknya.
Aliansi strategis inilah yang saat ini
berkembang dengan pesat, khususnya
yang dijalin oleh MPI/APHI sebagai
organisasi para pengusaha kehutanan
dengan APKASI sebagai organisasi
para bupati. Kalau kepentingan
keduanya kemudian terlembagakan
dalam berbagai kebijakan daerah maka
kita akan menyaksikan meningkatkan
operasi “penjarahan” hutan secara
resmi.
Bertambahnya wewenang
Pemerintah Daerah dalam pemberian
ijin-ijin baru untuk mengeksploitasi
hutan, sementara kapasitas pemerintah
sendiri untuk mengendalikannya
penggunaan ijin-ijin sebelumnya saja
tidak mampu, maka beberapa tahun
terakhir semakin tumbuh suburnya
praktek-praktek penebangan hutan
yang melanggar hukum nasional dan
juga hukum adat (keduanya sama-sama
bisa dikategorikan “illegal logging”) di
seluruh pelosok nusantara, termasuk
juga di kawasan-kawasan konservasi.
Penjarahan hutan secara illegal ini jauh
lebih berbahaya, baik terhadap
kerusakan hutan maupun keselamatan
masyarakat adat/lokal yang berada di
dalam dan sekitar hutan. Bentuk
penjarahan hutan seperti ini umumnya
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
dan perorangan tidak memiliki ijin
penebangan hutan tetapi mengendalikan
operasi penebangan dan
perdagangan kayu. Operasi penebangan
liar seperti ini hampir
seluruhnya melibatkan pengusaha
daerah yang disebut dengan “cukong”.
Mereka umumnya memiliki industri
pengolahan kayu atau sawmill yang
resmi (ada ijin), tetapi tidak memiliki
ijin atas konsesi wilayah tebangan.
Operasi penebangan seperti ini
berpindah-pindah (mobile), terorganisir
dengan baik dengan melibatkan
organisasi preman dan mendapatkan
dukungan kuat dari militer dan/atau
polisi, pejabat pemerintah dan politisi
di daerah operasi dan juga di Jakarta.
Bagi masyarakat adat/lokal,
penebangan dengan modus seperti ini
sangat berbahaya untuk menegakkan
hukum adat, khususnya jika di dalam
bisnis ini terlibat para tokoh-tokoh
adat, atau jika kebanyakan dari anggota
komunitas terlibat. Dalam berbagai
kasus penjarahan hutan seperti ini,
anggota-anggota komunitas adat dan
segelintir pengurus masyarakat adat
juga ada yang terlibat. Keterlibatan
mereka umumnya karena desakan pasar
dan juga sekedar memfaatkan peluang
berusaha yang difasilitasi oleh mafia
penebangan kayu liar. Apa pun
alasannya, anggota atau pemimpin
komunitas masyarakat adat yang
menebang pohon di hutan adatnya
tanpa memenuhi prosedur dan
mekanisme hukum adat yang berlaku,
sudah semestinya dikategorikan
sebagai penjarah hutan.
Di sisi lain, “reformasi” yang
ditandai dengan mulai tumbuhnya
kesadaran politik rakyat disertai dengan
melemahkanya institusi negara juga
telah mendorong dinamika politik lokal
yang memberi ruang partisipasi politik
bagi masyarakat adat, baik melalui
mekanisme politik yang formal maupun
yang informal. Organisasi-organisasi
rakyat yang berbasis komunitas
merupakan tanda-tanda baik kalau
didukung secara bersama oleh ORNOP
dan ilmuwan-ilmuwan yang lebih
progresif untuk membangun agendaagenda
politik kehutanan yang dimulai
dari bawah. Dinamika ini tentu
berdampak pada konflik itu sendiri.
Berbagai konflik hutan dan kehutanan
yang tadinya bersifat laten
(tersembunyi) menjadi terbuka (berakar
dan nyata) dan menjadi keharusan
8 intip hutan | februari 2004
untuk mengatasi penyebab dan
dampaknya. Adalah suatu kenyataan
bahwa ternyata konflik-konflik terbuka
ini tidak mampu diselesaikan oleh
tatanan hukum dan kelembagaan
negara yang ada saat ini (karena pilarpilar
utama masih warisan dari Rejim
Orde Baru).
Oleh sebab itu, proses-proses
dialog muti-pihak sudah semestinya
menjadi pilihan terbaik untuk mulai
membangun saling percaya satu sama
lain dan saling mempengaruhi satu
sama lain secara terbuka dan lebih
rendah hati. Hanya dengan prosesproses
yang demikian inilah kita bisa
membuka kebenaran lembar demi
lembar masa lalu politik hukum
kehutanan kita memang sangat suram
selama masa kekuasaan Orde Baru.
Hanya dengan pelajaran-pelajaran dari
lembaran-lembaran kebenaran masa
lalu itulah bangsa ini bisa memetik
pelajaran untuk melangkah ke depan.
Penulis: Abdon Nababan
Penyimpangan kasus ekonomi masa lampau
09.50 |
Label:
Penaku Beraksi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar